Angga korban penembakan Brimob |
Secara umum proses perampasan tanah rakyat oleh PTPN VII
tahun 1982 di setiap desa realtif sama. Di jaman Orde Baru warga tidak memiliki
pilihan selain pasrah ketika kebun Karet dan Nanas mereka digusur oleh PTPN VII
tanpa ganti rugi yang layak. Proses ganti rugi tahun 1982 diakui warga diwarnai
tekanan, intimidasi dan sikap refresif aparat keamanan. Ganti rugi itupun
sangat tidak adil, contohnya dari 5 ha lahan, hanya 1 ha saja yang diganti,
lebih parah hingga saat ini masih ada tanah warga yang belum diganti rugi oleh
pihak PTPN VII. Demikian, sebagaimana dikutip dari laman lembaga yang peduli
pada lingkungan hidup Walhi.
Namun sampai dengan kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
saat ini, upaya warga untuk meminta kembali hak mereka atas tanah tersebut
tidak membuahkan hasil. Rezim SBY ternyata sama kejamnya dengan Rezim Orde Baru
Jendral Suharto.
Berbagai upaya dialog dan mediasi telah ditempuh warga,
namun pihak PTPN VII selalu mengulur waktu dan cenderung tidak memberi
keputusan yang tegas. Dari luas lahan 20.000 ha yang diusahakan PTPN VII Cinta
Manis hanya 6000 ha memilki HGU berlokasi di daerah Burai kecamatan Rantau
Alai.
Upaya negosiasi dan usulan mediasi yang disampaikan oleh
masyarakat di tolak oleh PTPN VII dan juga Kementerian BUMN ketika terjadi
pertemuan di Kantor Kementerian BUMN pada hari Senin tanggal 16 Juli 2012 yang
lalu. Pertemuan yang dihadiri oleh Sekretaris Menteri BUMN, Deputy Menteri BUMN
Bidang Industri Primer, Direktur Utama PTPN VII, Direksi PTPN VII menolak
usulan perwakilan warga yang disampaikan pada pertemuan tersebut.
Hari Selasa, tanggal 17 Juli 2012, sekitar jam 08.30 WIB,
Polisi dari Kepolisian Sumatera Selatan mulai dikerahkan untuk datang ke wilayah
sengketa di lokasi pabrik gula PTPN VII, di Kabupaten Ogan Ilir. Sejak saat itu
Polisi melakukan penangkapan paksa terhadap warga desa, bahkan seorang Ibu dan
Bayinya umur 1,5 tahun ditangkap dan dibawa ke markas polisi resort Ogan Ilir
pada tanggal 22 Juli 2012 yang baru lalu.
Setiap saat warga desa di teror oleh pasukan Brimob Polda
Sumsel, dan dilakukan penangkapan-penangkapan warga desa. Sampai dengan tanggal
26 Juli 2012 sudah 30 warga desa yang ditangkap polisi secara paksa.
Tanggal 27 Juli 2012, sekitar jam 16.00 WIB, terjadi bentrok
antara warga dengan polisi karena polisi melakukan tindakan semena-mena di desa
Limbung Jaya, Polisi menembakan senjata mereka secara membabi buta sehingga
mengakibatkan 1 orang anak berumur 12 tahun (Angga Bin Darmawan) tewas
tertembak di kepala saat lari keluar dari game centre karena mendengar
keributan.
Saat melihat Angga terjatuh, warga mencoba menolong, tetapi
dilarang oleh Polisi. Tembakan serampangan polisi juga mengakibatkan 2 orang
perempuan (1 orang berumur 16 tahun bernama Jesica, 1 orang ibu), 1 orang
laki-laki bernama Rusman terluka parah, Rusman terkena tembakan disiku kiri
tangannya tembus selain itu dan juga alami luka di kepala.
Tindakan Kepolisian Polda Sumatera Selatan sangat tidak
manusiawi, demikian juga dengan PTPN VII dan Kementerian BUMN. Pembunuhan
terhadap warga negara tanpa alasan yang jelas dan penganiayaan yang dilakukan
terhadap warga telah diluar batas pri-kemanusiaan. Sebagai state own company
seharusnya PTPN VII bekerja untuk mensejahterakan warga bukan menyengsarakan
dan menindas warga. Pimpinan PTPN VII harus bertanggung jawab atas gugurnya
korban jiwa akibat kerakusan PTPN VII.
Kekerasan dan pembunuhan ini memperkuat kembali bukti bahwa
pendekatan keamanan dengan menggunakan aparat negara menjadi pendekatan utama
dalam konflik agraria dan sumber daya alam di Indonesia. Presiden menginstruksi
dalam rapat di Kejaksanaan Agung untuk pembentukan Tim Terpadu Konflik Agraria,
ternyata tidak memberikan harapan apapun dengan masa depan penyelesaian konflik
agraria di Indonesia, dan diperkuat dengan bukti kekerasan pada hari ini jumat
(27/7). (berita hukum.com/risalahtauhidnews)